Laman

Minggu, 27 Oktober 2013

WIJI THUKUL

WIJI THUKUL,  yang benama asli Wiji Widodo lahir di kampung Sorogenen, Solo 26 Agustus 1963. beliau seorang sastrawan dan aktivis Indonesia. sejak SMP ia aktif dan bergabung dengan sanggar Teater Jagad. lulus SMP Thukul melanjutkan studi di SMKI "Sekolah Menengah Karawitan Indonesia", meski hanya
sampai kelas II. Ia lahir dari keluarga sedehana, ayahnya yang mata pencaharian sebagai tukang becak. Sebagai seorang kakak Wiji thukul merupakan seorang kakak yang patut menjadi teladan,  berhenti menimba ilmu untuk bekerja agar adiknya bisa melanjutkan sekolah. Disamping aktif di Teater, Thukul juga aktif menulis puisi, puisi-puisinya pernah di bacakan di Radio PTPN Solo, di muat di Muira, NOVA, Swadesi, Inside Indonesia dan Suara Merdeka. Pergumulanya dengan kesenian kerakyatan semakin mendalam ketika mulai mengembangkan aktivitas kesenian, di kampung-kampung bersama teman-temanya yang kebanyakan kaum buruh. Dia mulai membaca puisi bukan hanya di gedung-gedung kesenian atau kampus, namun juga di Bis kota, kampung bahkan aksi massa.

Menikah dengan Siti Dyah Sujirah atau lebih sering dipanggil Sipon, meluluhkan hati sang pujaan hati dengan pembacaan puisi di rumah Sipon dengan judul catatan malam yang juga berhasil menghipnotis sipon agar agar segera berkata mau untuk pertanyaan “Kalau kamu perempuan itu, mau atau tidak jadi pacarku,,,?”

Beberapa bulan setelah jawaban mau, dari sipon,,, Wiji thukul menunjukkan keseriusannya terhadap wanita yang dikenalnya pada saat banjir di kampung jagalan solo,kala itu Sipon ikut berpartisipasi mengevakuasi warga yang sedang kebanjiran dan tukul sibuk dengan kamera demi sebuah poto jepretan  bermakna seribu kata. Tukul memang pada saat itu bekerja pada sebuah media milik muhammadiyah, Masakini. Keseriusan tukul dibuktikan dengan ajakan menikah kepada Sipon pada Oktober 1988, alasan Thukul untuk segera menikahi Sipon adalah menhgindari rencana perjodohan dirinya dengan seorang gadis dari desa Kebak Kramat, Solo, entah itu betul atau tidak namun cara tersebut berhasil membawa Sipon ke pelaminan menjadi pasanagn Thukul. Dari pernikahannya dengan Sipon, Thukul di karuniahi seorang putri bernama "Fitri Nganti Wani" dan seorang putra bernama "Fajar Merah".

Sebagai  seniman yang dibesarkan di kampung, Thukul bersama kawan-kawannya mebangun kolektif kesenian kampong yang bernama "Sanggar Suka Banjir". Kelompok inilah yang mengkspresikan problem-problem rakyat yang teal. Dari sini pula Thukul mulai terlibat dalam aksi-aksi melawan ketidakadilan dan penindasan. Represi aparat mulai dirasakan ketika Thukul bersama rakyat di kampungnya memprotes pencemaran pabrik tekstil PT. Sari Warna Asli. Dalam aksi ini Thukul sempat ditangkap dan dijemur oleh aparat Polresta Surakarta. Namun tepresi ini tak menyurutkan langkahnya. Thukul kemudian bergabung dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat "JAKKER" yang aktif dalam aksi-aksi buruh. Dalam aktivitas inipun Thukul tak luput dari represi aparat. Dalam aksi buruh PT. Sritex bulan Desember 1995, Tukul dianiaya oleh aparat hinga salah satu matanya cidera hampir buta.

Gara gara melawan Orde Baru hidup Wiji Thukul menjadi tidak bisa senyaman hidup keluraga lainnya. Sajak sastra menjadi alat Tukul untuk menghipnotis massa agar bersama melawan, menyerukan keberanian dan pengasingan rasa ketakutan agar perbudakan dapat ditekan. Kalimat dari pusi Tukul yang sampai sekarang masih sering do pekikkan oleh para wakil rakyat jalanan adalah hanya satu kata LAWAN !!!  kutipan dari puisi berjudul Sajak Suara dan Peringatan.


APABILA  USUL  DI  TOLAK

TANPA  DI  TIMBANG

SUARA  DI  BUNGKAM

KRITIK DI  LARANG  TANPA  ALASAN

DITUDUH  SUBVERSIF

DAN  MENGGANGGUH  KEAMANAN
MAKA  HANYA  ADA  SATU  KATA,,,LAWAN !!!!







Thukul, dalam perjalannya sampai diberitakan hilang pada Maret 1998 merupakan aktivis yang sudah menjalani hampir  setengah dari wilayah indonesia demi melindungi diri dari kejaran tentara penculik aktivis pro demokrasi. Di Sumatera diberitakian ia pernha singgah di Bengkulu, kemudian di pulau Kalimantan ia menginap di rumah aktivsis bernama Martin Siregar dan sempat diberitakan menikah lagi karena ia menyuruh istrinya untuk menjahit sebuah popok bayi, yang ternyata kemudian diketahui popok bayi tersebut adalah untuk bayi dari istri temannya. Jakarta, Depok, Banten dan kepulauan Seribu juga pernah disinggahi tukul untuk mempertahankan diri dari kejaran tentara suruhan penguasa.

Wiji thukul merupakan catatan kaki dari buku besar sejarah Republik ini, di bab Orde Baru terselip namanya sebagai tokoh yang terlupakan, buku sejarah ini hanya menepatkan namanya dengan tulisan kecil di bawah lembar halaman.

Ada informasi penting yang selalu di kaitkan dengan catatan kaki dan Tukul merupakan sosok penting dari arus demokratisasi di indonesia, bersama dengan orang orang yang senasib dengannya, yaitu mereka yang hanya memperjuangkan kebebasan tanpa bisa menikmati kerja keras mereka yang penuh dengan taruhan nyawa. Mereka yang adalah korban penghilangan paksa oleh rezim Orde Baru.

Kini 15 tahun setelah jatuhnya rezim Soeharto, arus demokratisasi semakin menjamur di negeri ini, sentralisasi diganti dengan desentralisasi, pemimpin dibatasi masanya, kebebasan semakin diberi peluangnya, militer dikerdilkan kuasanya terhadap sipil, rakyat semakin bebas ber ekspresi dan ternyata keadilan masih jauh dari sasaran, musuh baru ternyata tidak ada, korupsi dan kolusi serta nepotisme yang merupakan warisan orde baru masih menghisasi wajah birokrasi negeri ini. Bedanya kini rakyat tidak lagi di kekang oleh senapan di jidat dan aktivis yang dulu berjuang di bawah tanah dan di bakar oleh terik matahari, beberapa kini telah berjuang di bawah sejuknya pendingin ruangan bersama para wakil rakyat.


Semoga yang korup-korup
segera lenyap dari Republuk ini,,!!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar