sampai kelas II. Ia lahir dari keluarga sedehana, ayahnya yang mata pencaharian sebagai tukang becak. Sebagai seorang kakak Wiji thukul merupakan seorang kakak yang patut menjadi teladan, berhenti menimba ilmu untuk bekerja agar adiknya bisa melanjutkan sekolah. Disamping aktif di Teater, Thukul juga aktif menulis puisi, puisi-puisinya pernah di bacakan di Radio PTPN Solo, di muat di Muira, NOVA, Swadesi, Inside Indonesia dan Suara Merdeka. Pergumulanya dengan kesenian kerakyatan semakin mendalam ketika mulai mengembangkan aktivitas kesenian, di kampung-kampung bersama teman-temanya yang kebanyakan kaum buruh. Dia mulai membaca puisi bukan hanya di gedung-gedung kesenian atau kampus, namun juga di Bis kota, kampung bahkan aksi massa.
Menikah dengan Siti Dyah Sujirah atau lebih sering dipanggil Sipon, meluluhkan hati sang pujaan hati dengan pembacaan puisi di rumah Sipon dengan judul catatan malam yang juga berhasil menghipnotis sipon agar agar segera berkata mau untuk pertanyaan “Kalau kamu perempuan itu, mau atau tidak jadi pacarku,,,?”
Beberapa bulan
setelah jawaban mau, dari sipon,,, Wiji thukul menunjukkan keseriusannya
terhadap wanita yang dikenalnya pada saat banjir di kampung jagalan
solo,kala itu Sipon ikut berpartisipasi mengevakuasi warga yang sedang
kebanjiran dan tukul sibuk dengan kamera demi sebuah poto jepretan
bermakna seribu kata. Tukul memang pada saat itu bekerja pada sebuah
media milik muhammadiyah, Masakini. Keseriusan tukul dibuktikan
dengan ajakan menikah kepada Sipon pada Oktober 1988, alasan Thukul
untuk segera menikahi Sipon adalah menhgindari rencana perjodohan
dirinya dengan seorang gadis dari desa Kebak Kramat, Solo, entah itu
betul atau tidak namun cara tersebut berhasil membawa Sipon ke pelaminan
menjadi pasanagn Thukul. Dari pernikahannya dengan Sipon, Thukul di karuniahi seorang putri bernama "Fitri Nganti Wani" dan seorang putra
bernama "Fajar Merah".
Gara gara melawan Orde Baru hidup Wiji Thukul menjadi tidak bisa senyaman hidup keluraga lainnya. Sajak sastra menjadi alat Tukul untuk menghipnotis massa agar bersama melawan, menyerukan keberanian dan pengasingan rasa ketakutan agar perbudakan dapat ditekan. Kalimat dari pusi Tukul yang sampai sekarang masih sering do pekikkan oleh para wakil rakyat jalanan adalah hanya satu kata LAWAN !!! kutipan dari puisi berjudul Sajak Suara dan Peringatan.
APABILA USUL DI TOLAK
TANPA DI TIMBANG
SUARA DI BUNGKAM
KRITIK DI LARANG TANPA ALASAN
DITUDUH SUBVERSIF
DAN MENGGANGGUH KEAMANAN
MAKA HANYA ADA SATU KATA,,,LAWAN !!!!
Thukul, dalam perjalannya sampai diberitakan hilang pada Maret 1998 merupakan aktivis yang sudah menjalani hampir setengah dari wilayah indonesia demi melindungi diri dari kejaran tentara penculik aktivis pro demokrasi. Di Sumatera diberitakian ia pernha singgah di Bengkulu, kemudian di pulau Kalimantan ia menginap di rumah aktivsis bernama Martin Siregar dan sempat diberitakan menikah lagi karena ia menyuruh istrinya untuk menjahit sebuah popok bayi, yang ternyata kemudian diketahui popok bayi tersebut adalah untuk bayi dari istri temannya. Jakarta, Depok, Banten dan kepulauan Seribu juga pernah disinggahi tukul untuk mempertahankan diri dari kejaran tentara suruhan penguasa.
Wiji thukul merupakan catatan kaki dari buku besar sejarah Republik ini, di bab Orde Baru terselip namanya sebagai tokoh yang terlupakan, buku sejarah ini
hanya menepatkan namanya dengan tulisan kecil di bawah lembar halaman.
Ada informasi
penting yang selalu di kaitkan dengan catatan kaki dan Tukul merupakan
sosok penting dari arus demokratisasi di indonesia, bersama dengan orang
orang yang senasib dengannya, yaitu mereka yang hanya memperjuangkan
kebebasan tanpa bisa menikmati kerja keras mereka yang penuh dengan
taruhan nyawa. Mereka yang adalah korban penghilangan paksa oleh rezim Orde Baru.
Kini 15 tahun setelah jatuhnya rezim Soeharto, arus demokratisasi
semakin menjamur di negeri ini, sentralisasi diganti dengan
desentralisasi, pemimpin dibatasi masanya, kebebasan semakin diberi
peluangnya, militer dikerdilkan kuasanya terhadap sipil, rakyat semakin
bebas ber ekspresi dan ternyata keadilan masih jauh dari sasaran, musuh
baru ternyata tidak ada, korupsi dan kolusi serta nepotisme yang
merupakan warisan orde baru masih menghisasi wajah birokrasi negeri ini.
Bedanya kini rakyat tidak lagi di kekang oleh senapan di jidat dan
aktivis yang dulu berjuang di bawah tanah dan di bakar oleh terik
matahari, beberapa kini telah berjuang di bawah sejuknya pendingin
ruangan bersama para wakil rakyat.
Semoga yang korup-korup
segera lenyap dari Republuk ini,,!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar