Senin, 02 Mei 2016

MENGENANG MARSINAH SEBAGAI PEJUANG BURUH INDONESIA

Hai,,, SAHABAT.? Apa kabar pekerja se Indonesia.? Kali SAHABAT PENA mengajak anda untuk mengenang kembali perjuangan sosok wanita muda yang pemberani, Sosok kartini masa kini dalam diri seorang Marsinah yang lahir pada tanggal 10 April 1969. Anak ke-2 dari tiga bersaudara. Dari pasangan Sumini dan Mastin. Sejak usia 3th. Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Marsinah kemudian diasuh oleh neneknya bernama Pu’irah yang tinggal bersama bibinya di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.



Sejak kecil, gadis berkulit sawo matang hidup dalam kemandirian. Menyadari nenek dan bibinya kesulitan mencari kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan dengan berjualan makanan kecil. Di lingkungan keluarganya, ia dikenal anak rajin, Jika tidak ada kegiatan sekolah, ia biasa membantu bibinya memasak di dapur. Sepulang dari sekolah, ia biasa mengantar makanan untuk pamannya di sawah. 

Sangat berbeda dengan teman sebayanya yang lebih suka bermain-main,ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan membaca. Kalaupun keluar, paling dia hanya pergi untuk menyaksikan siaran beritatelevisi. Ia juga dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, ringan tangan dan setia kawan. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani. Paling tidak 2 sifat itulah, pemberani dan setia kawan inilah yang membekalinya menjadi pelopor perjuangan buruh.

Marsinah, tipikal buruh perempuan desa yang mengkota terpinggirkan, muncul sebagai pahlawan di tengah hiruk pikuk industrialisasi manufaktur dan represipnya penguasa di pertengahan dasawarsa 90an. Ia bukan hanya mewakili "Nasib malang" jutaan buruh perempuan yang menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat karya berupah rendah, kondisi kerja buruk,dan tak terlindungi hukum, tapi pembunuhannya yang dimediasikan dan diartikulasikan oleh media massa menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh,lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer,kepolisian,dan sistem peradilan. 

8 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan oleh anak-anak di Desa Jegong, Wilangan, Nganjuk. Menurut otopsi dokter forensik. Marsinah mati karena penganiayaan berat. Marsinah bukanlah buruh yang aktif di serikat pekerja. Kondisi yang serba terbatas membuatnya harus mencari kerja sampingan. Di kontrakannya di daerah Siring, Porong, Sidoarjo, Marsinah terkadang menerima order menjahit. Kadang juga berjualan untuk menutup kebutuhan. Bagaimana Marsinah mati? Sampai saat ini masih merupakan misteri. Status Marsinah saat itu adalah buruh perempuan yang bekerja di pabrik arloji PT Catur PutraSurya, Porong,Sidoarjo. Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.

Marsinah menjadi salah seorang aktivis dalam pemogokan massal selama tanggal 3-4 Mei 1993 di pabriknya. untuk menuntut kenaikan upah 20% dari gaji pokok, yang pada awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.

Kondisi perburuhan yang kurang memenuhi rasa keadilan tidak hanya terjadi di era reformasi ini. Di era rezim Orde Baru, upah tidak layak dan terbelenggunya mereka akibat serikat pekerja bentukan pemerintah, menjadi jurang ketidakadilan ketika itu. Hal yang wajar pemogokan kerap terjadi. Dan tentara selalu ikut campur tangan menghadapi pemogokan buruh, termasuk di PT Citra Putra Surya, perusahaan arloji di Sidoarjo, Jawa Timur, tempat Marsinah bekerja.

Kondisi itu tidak menyurutkan buruh PT CPS untuk menuntut hak, pada 3 dan 4 Mei 1993. Upah minimum regional (UMR) yang mereka terima jauh dari upah minimum yang telah ditentukan.  Akibat desakan para buruh, manajemen PT CPS pun menyatakan akan memenuhi tuntutan buruh, meski belum secara tertulis. Tiba-tiba pada 5 Mei beberapa buruh yang ikut pemogokan dipanggil untuk rapat dengan perusahaan dengan disaksikan Depnaker, di sebuah tempat yang mungkin tidak masuk akal. Karena tidak masuk akal itulah yang membuat Marsinah secara spontan mendatangi tempat perundingan ulang tersebut: Markas Komando Distrik Militer Sidoarjo.

Marsinah merasa terkejut. Mengapa harus ada perundingan ulang di Kodim Sidoarjo? Dia juga terkejut terkait alotnya perundingan dan ancaman PHK terhadap temannya. Padahal, sebelumnya perusahaan menyepakati akan mengabulkan tuntutan buruh.

Kronologis Kematian
  • Pada tanggal 2 Mei. Marsinah dan aktivis buruh lainnya mengadakan rapat untuk melaksanakan pemogokan kerja demi menuntut kenaikan upah sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur.
  • Pada tanggal 3 Mei 1993. buruh PT Catur Putra Surya shift 1 sampai dengan shift3 mogok kerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
  • Pada tanggal 4 Mei 1993. para buruh mogok total mereka mengajukan 12tuntutan,termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 perhari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima,termasuk oleh buruh yang absen.
  • Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993. Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
  • Siang hari tanggal 5 Mei. tanpa Marsinah,13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim.Setelah itu, sekitar pukul 10 malam,Marsinah lenyap.
  • Mulai tanggal 6, 7, 8 Mei. keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei1993. Pada tahun1993 juga telah dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM) yang didirikan oleh beberapa LSM dan serikat buruh untuk menginvestigasi dan mengadvokasi pembunuhan Marsinah oleh Aparat Militer. Sampai saat ini matinya Marsinah merupakan peristiwa gelap yang belum terungkap siapa pelaku pembunuhnya.


Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi.(mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah).

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

Pada tahun 2012 kasus Marsinah ditutup karena dianggap telah mencapai batas waktu peradilan. 
Sejak era Presiden Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid, Preaiden Megawati Soekarnoputri, Presiden SBY, dan Presdn Jokowi kematian Marsinah coba diangkat lagi ke permukaan, tapi kejelasan itu tetap nihil. Sementara itu Kontras tak henti-hentinya meminta Komnas HAM membuka ulang kasus ini. Sekarang hampir 23 tahun kasus kematian MARSINAH Hukum di negeri yang demokratis ini seakan juga terkubur dengan jasad_Nya. Sekian dulu SAHABAT PENA Semoga bermanfaat.?


Baca Artikell Menarik Lain ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar