Norman Edwin dan Didiek Samsu memang telah tiada, namun spiritnya kuat meresap di hati para pengGIEat alam di Indonesia, penghargaan patut mereka terima atas kebernaian dan semangat pantang menyerah, suata tokoh pengGieat alam yang patut kita jadikan contoh bagi generasi muda pengGieat alam Indonesia.
TIM MAPALA UI ALAMI MUSIBAH
KOMPAS - Kamis, 25, Maret, 1992
Tim Expadisi puncak 7 benua Universitas Indonesia ke puncak Aconcagua ( 6.960 meter) mengalami musibah. Berita terakhir dari KEDUBES RI di Cile menyampaikan hari minggu 22 maret telah menerima telpon dari Puenta del inca, kota terakhir di Argentina sebelum puncak Aconcagua di pegunungan Andes Amerika Selatan, dua orang pendaki dari MAPALA UI yaitu Norman Edwin(37) dan Didiek Samsu(28) mengalami musibah hari senin (23/3) sekitar pukul 19.30 waktu setempat atau pukul 05.30 pagi harinya selasa (24/3) di peroleh berita dari KEDUBES Argentina di Santiago Cile, Tim SAR Argentina sudah melakukan penggecekan atas kemungkinan musibah itu dan sudah menemukan salah seorang dari mereka, tanpa di rinci kondisinya, seorang lagi masi dalam pencarian sampai berita ini di turunkan masih terus di cari, berita musibah yang menimpa wartawan kompas - Norman - dan wartawan majalah jakarta jakarta - Didik samsu masih belum bisa di konfirmasikan peristiwa dan rincian musibah sebenarnya.
Pendakian Ulang
Pendakian ke Aconcagua ini sebernarnya adalah pendakian ulang, saat pertama rombongan expedisi berjunlah 5 anggota yaitu Rudi nur cahyo(24), Muhammad fayes(23), Dian hapsari(24). mereka sudah melakukan pendakian tanggal 12 - februari - 1993, namun dua hari menjelang tiba di puncak, Fayes mendapat kecelakaan tanya terkilir, "Norman dan Rudi menolong saya, kami terperangkap badai salju, baru lima hari kemudian, kami bertiga tiba di Puenta del Inca. sedangkn Didik bersama Dian, sudah tiba lebih dulu di bawah" ujar Fayes yang jum'at 13 - Maret sudah tiba di jakarta bersama Dian, setelah dirawat di rumah sakit ternyata Norman dan Rudy harus di amputasi ruas jari mereka, akibat serangan radang beku (Frost bite), "Norman di potang satu ruas jari tengah tangan kirinya, sedang Rudy harus diamputasi satu ruas jari telunjuk, tengah, jari manis dan kelingking tangan kirinya, serta satu ruas jari manis tangan kirinya,,,"tutur Fayes. Rudy harus di rawat di rumah sakit di santiago, sedangkan Norman bersama Didiek, pimpinam dan wakil pimpinan pendakian memtuskan untuk mendaki ulang. "Saya bersama Dian pulang lebih dulu, karna tiket udah hampir kadaluarsa." kata Fayes. Norman yang baru sembuh, bersama Didiek mendaki lagi. Pendakian kali ini menurut rencana mengambil rute timur yang normal" (berbeda dari pendakian pertama mengambil jalur barat yang lebih berat). Menurut rencana kedua wartawan pendaki ini, pendakian mereka untuk menggapai puncak kelima dari tujuh puncak tertinggi di tujuh benua di dunia, hanya berlangsung antara tanggal 11 sampai 21 maret 1992, "saya rasa petugas SAR yang mencatat rencana Norman dan Didiek, setelah lewat tanggal tersebut segera mencari, akhirnya ya itu,,,Fax dari KBRI menyatakan tim SAR menemukan salah satu dari mereka tanpa rincian musibahnya, serta menyebut kalau seorang lagi, entah siapa belum di ketemukan," ungkap Fayes.
Badai Salju
KBRI Cile di Santiago, di kabarkan kini mendatangi langsung tempat kejadian peristiwa di Puenta Del Inca, namun menurut kabar terakhir, badai salju melanda pegunungan tengah itu, hingga helikoper carteranpun susah melintasinya, sedangkan dari Puenta Del Inca yangtak punya hubungan telpon, sumber di sana menyatakan kalau tim SAR masih terus mencari dan mengidentifikasi musibah sebenarnya, Rektor UI Prof.Dr. Sujudi yang sudah menerima kabar ini langsung dari Deplu RI, menyatakan piahak UI tetap memonitor perkembangan kabar musibah ini, serta akan menghubungi Deplu RI dan beberapa instansi terkait untuk bantuan yang di butuhkan,juga di rencanakan, tim UI mengirimkan tim pendamping dari Jakarta dalam waktu dekat ini.
Musibah Puncak Aconcagua
KOMPAS - Kamis. 26 Maret 1992
Musibah di puncak Aconcagua yang menerpa dua anggota Tim Expedisi Puncak Tujuh Benua MAPALA UI di Argentina, KedubesRI di Cile mengkonfirmasikan, kalo tim SAR Argentina bersama staf KBRI, sudah mengidentifikasi sau jenazah yaitu Didiek samsu (30). sedangkan pendaki lainya Norman Edwin (37), sampai berita ini di turunkan masih belim di temukan di sekitar tempat kejadian, - di ketinggian 6200 meter - menjelang puncak gunung tertinggi di benua Amerika selatan. Dubes RI untuk Cile, Dr,Sukarno Hardjosudarno, menegaskan kepada Kompas; "Jenazah yang kemarin belum dapat di identifikasi itu, kini sudah dapat di pastikan Didiek Samsu Wahyu Triachdi, sedangkan Norman mungkin masih hidup, namun tim SAR sampai kini belum menemukanya," ujar sukarno dalam sambungan telpon." situasi medan di ketinggian 6400 meter yang saatni kondisi cuacasangat buruk, menyulitkan proses evakuasi dari helikopter, tiga staff kami bersama Rudy Nurcahyo,-anggota Expedisi MAPALA UI yang baru sembuh setelah di amputasi lima ruas jari tanganya, kini masi memonitor perkembangan SAR di Puenta Del Inca pada ketinggian 2720 meter. Dalam teleks terakhir dari KBRI di Cile, di jelaskan Norman Edwin sebagai pemimpin tim expedisi berstatus sebagai wartawan kompas mengambil cuti "di luar tanggungan perusaha'an", di perkirakan mengambil rute menurundari Plaza Argentina yang lebih sulit, di banding rute normal Plaza De Mulas. Dengan rute ini Norman seharusnya sudah tiba di Plaza Argentina di Puenta Del Inca pada tanggal 25 Maret pukul 18.00 waktu setempat atau 26 Maret pukul 05.00 WIB. Slanjutnya menurut teleks KBRI ; Bila ternyata Norman Edwin belum tiba di Puenta Del Inca,,, maka tim pencari yang sudah berada di lokasi sekitar Plaza Argentina akan memperpanjang masa pencarianya dua hari lagi. Khususnya soal Didiek Samsu, pihak KBRI di lokasi mengkonfirmasi kalau evakuasi jenazah korban dari ketinggian 6400 meter turun ke 4200 meter belum bisa di lakukan terkendala cuaca buruk dan medan yang sulit, memerlukan waktu sekitar 10 hari dari sana. Dari sana kemudian jenazah di bawah lagi ke Mendoza di Argentina untuk visum dan perawatan, baru setelah itu di terbangkan Helikopter ke Santiago. "saya memperkirakan sekitar tanggal 5 April jenazah Didiek baru dapat kami urus di Santiago, mengurus evakuasi secepatnya ke Jakarta. "kata Sukarno melalui telpon perihal Jenazah Didiek Samsu_Pendaki Gunung dan Arkeolog UI, dan juga seorang wartawan Jakarta Jakarta.
Musibah Ke-2
Norman dan Didiek adalah pimpinan dan wapim Expedisi ini, di antara ketiga rekan lainya, Rudy Nurcahyo (24), Muhammad Fayez (23) dan Dian Hapsari (24). memang jauh lebih berpengalaman di bandingketiga rekanya. Norman dan Didiek dalam proyek UI mendaki ke-7 puncak benua di dunia. sejauh ini sudah berhasil mengibarkan bendera Merah Putih dan UI di 5 puncak ; Puncak Carstensz Pyramid_4.884 m di Irian Jaya/Papua Indonesia, Puncak McKinley_6.194 di Alaska AS, Puncak Kilimanjaro_5894 m di Tanzania, Puncak Elbrus_5.633 m di Rusia, dan kemungkina Puncak Aconcagua 6.959 m di Argentina. Sasaran Puncak Aconcagua kali ini, merupakan lanjutan sebelum pendakian ke Puncak Vinson Massif 4.877 m, di Kutub Selatan dan Puncak Everest 8.848 m di Himalaya. Sebelum pendakian ini, Tim beranggotakan 5 pendaki ini sudah mendaki melalui rute Plza Argentina, yang lebih sulit di banding jalur normal pada tanggal 12 sampai 27 februari 1992. Sayangnya datang awal musibah, hanya tinggal lima jam di saat tim sudah menjejakkan kaki di ktinggian 6400 m Fayes terjatuh menggelinding sekitar 500 m ke bawah dan terkilir lengan kananya, yang mengharuskan tim menolong dan turun kembali untuk perawatan - termasuk amputasi jari tangan - di Santiago. Setelah mendapat perawatan di Santiago, serta memulihkan kesehatan mereka, Norman dan Didiek memutuskan untuk memulangkan Fayes dan Dian ke Jakarta, serta Rudiy diharuskan beristirahat untuk pemulihan kesehatanya. Lalu Norman yang di amputasi satu ruas jari tengah tangan kananya, bersama Didiek kembali menyusun rencana Expedisi ulang ke Aconcagua,- 11 sampai 20 Maret 1992 - melalui rute normal "Rute plaza de Mulas". Kabar musibahpun tiba, KBRI di Cile pada hari selasa 24 Maret, mengabarkan musibah di Puncak Aconcagua ini. bahkan kini di pastikan kabar bahwa Didiek Samsu tlah meninggal dunia, dan Norman Edwin masih dalm pencarian. sore tadi pihak Rektorat UI sudah melaporkan musibah ini Deplu RI, Mensesneg,dan kantor Menpora, juga keluarga Achmad Effendi sudah mengetahui kepastian musibah yang menimpa putra mereka "Didiek Samsu". begitupula keluarga Norman - Karina Arifin dan Melati - Istri dan putri Norman Edwin, sudah menerima kabar musibah ini. Diharapkan dalam waktu singkat, pihak UI akan mengirimkan Tim pendukung yang akn bekerja sama dengan KBRI di Cile, mengurus evakuasi jenazah Didiek Samsu dan pencarian Norman Edwin.
Musibah Aconcagua, badai salju menghambat pencarian.
KOMPAS - Jum'at 27 Maret 1992 Halm; 1
Badai salju di gunung Aconcagua - Argentina, yang sudah berlangsung sejak hari kamis (26/3) pagi sekitar pukul 05.00 pagi WIB atau hari rabu malam (25/3) sekitar pukul 18.00 waktu Argentina, menghambat pencarian Norman Edwin. "tim SAR menghentikan pencarian sementara karena badai salju itu tidak berhenti" kata Dubes Indonesia untuk Cile. Dr Sukarno Hardjosudarno, melalui telepon kemarin malam. Berdasar perhitungan tim SAR Argentina, jika benarNorman Edwin memilih jalur ke Plaza Argentina seperti dugaan sebelumnya, semestinya hari rabu petang sudah tiba di Plaza Argentina. Base Camp Tim Indonesia (4200 m).Tetapi karna badai salju tidak juga reda tim SAR tidak bisa mengecek ke Plaza Argentina, apakah Norman sudah beradda disana. "Diharapkan sore nanti (jum'at 27/3, subuh waktu jakarta.Red), jika badai reda pencarian akan dilanjutkan lagi. "tambah Sukarno, seandainya badai juga belum juga reda, menurut keterngan Sukarno, jenazah Didiek Samsu, salah satu korban yang berada di ketinggian 6400 meter, paling cepat dapat di evakuasi sekitar 1 atau 2 bulan lagi, karna itu "sebaiknya yang akan kesini jangan terburu-buru berangkat tunggu kabar dari saya, takutnya terlalu lama disini, sebaiknya dikoordinasikan dulu,"saran Sukarno. Dari Kedubes RI untuk Argentina, segera di utus dua orang ke mendoza."kemungkinan yang berangkat Pak Gde Arsa Kadjari sekretaris I, "kata Medy Ch djufrie sekretaris II KBRI untuk Argentina, kemarin ketika di hubungi melalui telepon di Buenos Aires. mereka terutama yang membuat visum di Mendoza.
Kecepatan 240 km/jam
Memang cuaca adalah hambatan utama pendakian puncak Aconcagua, setinggi 6.959 Mdpl. Badai salju amat di takuti oleh pesawat-pesawat yang melintas di atasnya. Pada puncaknya tercatat "Badai Putih" bisa terjadi dengan kecepatan 240 Km/jam dan bisa menurunkan suhu hingga minus 42 derajat celcius, bagi para pendaki Aconcagua, tantangan terberat adalah masa aklimatisasi,"penyesuaian kondisi tubuh terhadap ketinggian.Dari laporan-laporan pendakian yang ada, proses ini rata-rata memakan waktu sekitar 1 minggu.
BADAI SALJU MASIH MENGHAMBAT PENCARIANKOMPAS - Sabtu, 28 Mar 1992
Hujan
salju di kawasan Gunung Aconcagua, Argentina, yang sudah berlangsung
selama dua hari sejak hari Rabu (25/3), sampai berita ini diturunkan
masih belum reda. "Tim evakuasi baru berangkat hari ini (Jumat siang,
27/3 waktu Argentina, Red) kalau hujan salju berhenti. Kalau masih belum
berhenti tidak bisa berangkat," kata Duta Besar Indonesia untuk Cile,
Dr Sukarno Hardjosudarno, Jumat(27/3) malam melalui telepon.Sukarno juga
menginformasikan semalam, ketebalan lapisan salju di ketinggian 4.200
meter saja sudah mencapai 40 centimeter.Di tempat yang lebih tinggi
dikhawatirkan salju lebih tebal lagi. Jenazah Didiek diperkirakan
tertutup salju yang cukup tebal sehingga sulit ditemukan kembali saat
ini. "Perlu waktu lama untuk mengevakuasinya," ungkap Sukarno.Norman
Edwin sampai Jumat siang waktu Argentina masih belum diketahui berada di
mana, karena belum juga kembali. Menurut perkiraan Tim SAR Argentina,
kemungkinan Norman menempuh jalur turun menuju ke Plaza Argentina (4.200
meter), jalur yang lebih sulit dibandingkan jalur normal yang lebih
mudah melalui Plaza de Mulas (4.200 meter di lokasi berbeda), ulas
Sukarno.Kalau musin mendaki Plaza de Mulas dipenuhi oleh para pendaki
karena biasanya dijadikan base camp sebelum mulai pendakian melalui
jalur normal. Tetapi, "Sekarang sudah lewat musim mendakinya. Musim
pendakian biasanya hanya sampai tanggal 15 Maret. Jadi di Plaza de Mulas
tidak ada orang sama sekali sekarang," kata Sukarno menjelaskan.Usaha
pertama Tim Pendaki Indonesia mencapai puncak Aconcagua juga melalui
jalur Plaza Argentina. Mulai berangkat dari dari Puente del Inca (2.720
meter) tanggal 12 Februari dan tanggal 16 Februari seluruh anggota tim
baru tiba di Plaza Argentina (4.200 meter) yang dijadikan base camp,
cerita Moch. Fayez, salah satu anggota tim.Dari base camp, perjalanan
mengarah ke barat. Tanggal 24 Februari seluruh tim sudah sampai di
ketinggian 6.300 meter. Besoknya, tanggal 25 Februari, Norman dan
Didiek, berangkat dahulu menuju puncak yang tingginya 6.959 meter. Baru
kemudian disusul oleh anggota tim lainnya. Tetapi, pendakian dihentikan
ketika sudah sampai di ketinggian 6.550 meter, kurang lebih 409 meter
dari puncak Aconcagua, karena terhadang badai. "Padahal kami bertiga
baru saja mulai mulai berangkat," cerita Fayez. Perjalanan turun
diputuskan melalui Plaza de Mulas (4.200 meter).Dalam perjalan kembali
ke base camp, Fayez mengalami musibah tergelincir hingga bonggol sikunya
lepas. Dan, dua anggota tim lainnya, Norman dan Rudi, harus merelakan
beberapa jarinya diamputasi.
Satgas Khusus
Sementara
itu Ketua BPLK (Badan Pembinaan Lingkungan Kampus) Universitas
Indonesia, Harun Gunawan, yang juga staf Pembantu Rektor III UI,
mengatakan bahwa pihak UI telah membentuk satuan tugas khusus di bawah
pimpinan Purek III Merdias Almatsier sehubungan dengan musibah yang
menimpa tim UI itu. Rektor UI Sujudi sendiri saat ini sedang berada di
Bangkok, Thailand, sampai Selasa (31/3).Menurut Harun yang dihubungi
Kompas di gedung rektorat UI kemarin, satgas ini akan mempersiapkan
segala hal tentang musibah itu, termasuk penyambutan jenasah Didiek
Samsu, dan pemantauan keadaan Norman Edwin. "Kami terus kontak dengan
Kedubes RI di Cile," katanya.Harun juga mengatakan bahwa setidaknya
sampai saat ini pihak UI belum merencanakan untuk mengirim utusan ke
Argentina, karena sesuai pesan Dubes RI di Cile, dr Sukarno, saat ini di
lokasi kejadian sedang terjadi badai salju berkepanjangan.Lebih jauh,
Harun Gunawan juga mengatakan bahwa pihak UI tidak akan mengubah sikap
dalam pemberian ijin terhadap kegiatan-kegiatan Mapala UI. Menurutnya,
musibah yang telah dialami Mapala UI bukanlah baru sekali terjadi, dan
kejadian itu semata kendala alam. "Kalau ada kecelakaan lalu lintas,
bukan berarti lalu orang dilarang naik mobil kan ?" katanya memberikan
kiasan. (sur/arb)
Norman Edwin Ditemukan Sudah Meninggal
KOMPAS - Sabtu, 04 Apr 1992
Norman
Edwin, anggota Tim Ekspedisi Pendakian Puncak Aconcagua Universitas
Indonesia, sudah ditemukan dalam keadaan meninggal dunia di ketinggian
6.600 meter Gunung Aconcagua, Argentina. Berita itu diterima oleh
Defensa Sipil Mendoza, dari tim pendaki gunung lainnya, melalui radio
komunikasi tanggal 2 April 1992, sekitar pukul 13.15 waktu Argentina,
atau hari Jumat (3/4) sekitar pukul 00.15 WIB tengah malam. Tim pendaki
gunung yang mengirimkan berita itu, secara kebetulan menemukan jenazah
Norman Edwin Dr Jose Ignalio Ortogela, Direktur Defensa Sipil Mendoza,
menyampaikan berita itu kepada KBRI di Buenos Aires, Argentina.KBRI di
Santiago, Chile, mendapatkan berita itu dari KBRI Buenos Aires. KBRI
Chile maupun KBRI Argentina sama-sama mengirimkan berita itu ke tanah
air."Saya mendapatkan kabar ditemukan jenzah Norman dari Buenos Aires.
Beritanya, ada pendaki lain yang tidak diketahui kebangsaannya menemukan
jenazah Norman Edwin di ketinggian 6.600 meter. Hanya itu beritanya.
Dan, belum bisa dikonfirmasi secara rinci," kata Duta Besar Indonesia
untuk Chile, Dr Sukarno Hardjosudarno, melalui telepon, Jumat malam
(3/4), sekitar pukul 21.00 WIB."Ketika saya ke Puente de Vacas, Komandan
Tim SAR Argentina tidak menyebutkan kalau masih ada pendaki lainnya
yang masih di puncak, karena memang waktu pendakian sudah ditutup
tanggal 15 Maret," ungkap Sukarno menambahkan.KBRI di Buenos Aires
setelah mendapatkan kabar itu juga mengutus seorang staf ke Mendoza.
"Saya pagi ini segera berangkat ke Mendoza untuk mengurus segala sesuatu
yang diperlukan," kata Medy Djufrie, Sekretaris II, KBRI di Buenos
Aires, ketika dihubungi hari Jakarta Jumat (3/4) malam, melalui
telepon.Sukarno juga sudah meminta Rudi Nurcahyo, anggota tim ekspedisi
yang masih berada di Santiago segera menuju Puente de Vacas atau Puente
del Inca untuk melihat pelaksanaan evakuasi jenazah Didiek Samsu yang
menurut rencana akan dilaksanakan hari Minggu (5/4) waktu Argentina.
Jenazah Didiek Samsu
Didiek
Samsu, anggota tim lainnya, lebih dahulu diketahui meninggal tanggal 24
Maret. Jenazah Didiek ditemukan di ketinggian 6.400 meter di Refugio
Independenzia. Jenazah Didiek berada di dalam sleeping bag. Salju
menutupi separuh tubuhnya mulai dari bagian ujung kaki dan sebagian
tubuh dekat wajah. Di dekat jenazah ditemukan kapak es dan termos air
yang sudah rusak tutupnya.Carlos Tejerina, pendaki amatir yang menemukan
jenazah Didiek, juga menemukan beberapa barang, antara lain tujuh rol
film, kompas, altimeter, gaiter dan beberapa tabung gas, di Refugio
Berlin (6.000 meter). Carlos juga menemukan jejak menuju jalur Plaza
Argentina melalui Gletzer Polacos, yang diperkirakan adalah jejak
Norman.Karena itu, pencarian Norman, yang dilakukan oleh Tim SAR
Argentina diarahkan di kawasan Plaza Argentina (4.200 meter).Tanggal 26
Maret, pencarian dihentikan karena kawasan dari Plaza Argentina sampai
tepi Gletzer Polacos sudah disapu tanpa menemukan tanda-tanda di mana
Norman berada.Menurut rencana evakuasi jenazah Didiek baru bisa
dilakukan tanggal hari Minggu, tanggal 5 April sambil mencari Norman di
jalur pendakian normal. Diperkirakan jenazah Didiek baru tiba di Plaza
de Mulas (4.230 meter) hari Sabtu tanggal 11 April. Itupun dengan syarat
cuaca memungkinkan melakukan evakuasi.Posko Mapala UI memutuskan akan
mengutus Sugihono Sutedjo, anggota Tim Pendakian Puncak Tujuh Benua UI,
ke lokasi di Puente del Inca untuk membantu Rudi dan KBRI Argentina,
KBRI Chile, koordinasi evakuasi jenazah Didiek dan Norman. Soegihono
akan berangkat hari Minggu (5/4). (sur)
Musibah Aconcagua, EVAKUASI JENAZAH DIDIEK DIUNDUR HARI MINGGU
KOMPAS - Jumat, 03 Apr 1992
Evakuasi
jenazah Didiek Samsu, yang meninggal dalam ekspedisi pendakian Gunung
Aconcagua di Argentina, diundurkan hinggga hari Minggu (5/4), dengan
syarat cuaca di lokasi cerah. Rencana evakuasi yang semula direncanakan
dimulai hari Jumat (3/4)ini (Kompas, 31/3), diundurkan karena Tim SAR
yang ada masih menunggu kedatangan tim SAR profesional dari San Juan
tanggal 4 April.Demikian berita yang diterima Kompas dari Koordinator
Posko Mapala UI, Arianto T, hari Kamis (2/3). Posko Mapala UI menerima
berita itu dari Dubes RI di Cile dan Rudi Nurcahyo, anggota tim
ekspedisi pendakian Aconcagua yang masih berada di Cile.Jenazah Didiek
ditemukan terbujur di dalam kantong tidur di Refugio Independenzia,
ketinggian 6.400 meter, tanggal 23 Maret 1992. Waktu itu, salju separuh
sebagian tubuhnya dari bagian kaki dan sekitar mukanya. Di dekatnya
ditemukan kapak es dan termos air.Letnan Kolonel Juan Antonio Tora,
Komandan SAR Argentina menjadwalkan tim evakuasi akan berangkat hari
Minggu (5/4) dari Puente de Vacas. Diperkirakan tim tiba di Plaza de
Mulas (4.230 meter) hari Senin (6/4), untuk aklimatisasi. Hari Selasa
(7/4) tim naik ke Nido Condores, bermalam di situ. Hari Rabu (8/4) tim
menuju ke Refugio Berlin (6.000 meter). Baru hari Kamis (9/4), tim
evakuasi menuju Refugio Independenzia (6.400 meter) mengambil jenazah
untuk dibawa ke Refugio Berlin. Hari Jumat (10/4), jenazah baru
diturunkan dari Berlin ke Plaza de Mulas. Hari Sabtu (11/4) jenazah tiba
Plaza de Mulas dan langsung dibawa ke Puente del Inca. Dari sana dengan
mobil diangkut menuju poliklinik Uspalleta, 60 kilometer dari Plaza de
Mulas, untuk pemeriksaan visum et repetum. Selanjutnya, jenazah di bawa
ke Mendoza untuk dibalsem dan dimasukkan ke dalam peti.
Pencarian NormanMenurut
keterangan Letkol Juan Antonio Tora, sangat kecil kemungkinan Norman
Edwin masih Hidup. Tim SAR yang dipimpinnya sudah menelusuri rute
pendakian Puente de Vacas-Plaza Argentina-kaki Gletzer Polacos, yang
jalur yang diperkirakan diambil Norman, tidak menemukan Norman.Letkol
Tora memperkirakan Norman Edwin terperosok ke dalam crevasse,
celah-celah es, yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter dan selalu
berubah-ubah tempatnya. Celah-celah itu pada musim panas mudah terlihat,
sedangkan di musim dingin atasnya tetutup salju. Tim SAR sendiri belum
menyelusuri daerah itu karena sangat berbahaya, tetapi berjanji akan
meneruskan pencarian Norman apabila situasi mengizinkan.Kontak berita
terakhir mengenai Norman dan Didiek, yang berangkat menuju puncak
tanggal 12 Maret, dari pendaki negara lain yang berpapasan di Refugio
Independenzia. Waktu itu, tanggal 19 Maret, Norman mendapat gangguan
pada tangannya dan Didiek mengalami gangguan penglihatan.Seharusnya
Norman dan Didiek sudah kembali ke Plaza de Mulas tanggal 20 Maret.
Karena sampai tanggal itu belum juga kembali, Carlos, pendaki lokal yang
berpengalaman dan memiliki lisensi SAR, dengan beberapa kawannya menuju
ke atas dan menemukan jenazah Didiek sudah terbujur kaku, tanggal 23
Maret.Pencarian Norman selanjutnya dilakukan oleh enam anggota SAR
Argentina pimpiman Letkol Juan Antonio Taro. Tetapi, tanggal 26 Maret
karena badai dan di Plaza Argentina, lokasi sasaran SAR, tidak ditemukan
tanda-tanda keberadaan Norman, pencarian dihentikan sementara. Tim SAR
Argentina Gendarmarie kemudian mengadakan koordinasi kembali yang juga
dihadiri oleh Medy Ch. Djufrie, wakil dari KBRI Argentina.Kalau memang
pencarian Norman akan dilanjutkan, menurut perkiraan baru pada bulan
November, karena musim mendaki memang antara awal November sampai 15
Maret. Saat itu juga sudah musim panas, jadi salju sudah mencair. (sur)
EVAKUASI TERHAMBAT
KOMPAS - Jumat, 10 Apr 1992
Usaha
evakuasi jenazah Didiek Samsu dan Norman Edwin, dua pendaki anggota tim
ekspedisi ke Puncak Aconcagua, Argentina, terhambat oleh tebalnya salju
di lereng Aconcagua. "Tanggal 8 April (waktu Chile, Red) Tim SAR sudah
sampai ke ketinggian 5.200 meter. Ternyata di sana salju tebalnya
mencapai 60 sampai 70 centimeter. Terpaksa turun lagi ke Plaza de
Mulas," kata Duta Besar Indonesia untuk Chile, dr Sukarno Hardjosudarno
ketika dihubungi melalui telepon hari Kamis malam (9/4) waktu Jakarta
atau siang hari waktu Chile.Tanggal 9 April, waktu Argentina, Tim SAR
merencanakan kembali naik menuju Refugio Berlin (6.000 meter).
Seandainya cuaca baik, Tim SAR tiba di Berlin tanggal 10 April. Hari itu
juga Tim SAR menuju ke lokasi jenazah Didiek Samsu di Refugio
Independenzia (6.400 meter) untuk melakukan evakuasi jenazah Didiek
Samsu dan Norman Edwin (di ketinggian 6.700 meter) dan segera kembali ke
Berlin.Jika semua berjalan lancar, tanggal 11 April jenazah sudah tiba
di Plaza de Mulas (4.230 meter) dan tanggal 12 April tiba di Puente del
Inca untuk divisum di Uspallata. Tetapi, "Ramalan cuaca hari ini
(tanggal 9 April siang waktu Chile, Red) memperkirakan akan turun lagi
hujan salju. Kalau benar berarti Tim SAR tidak bisa menuju lokasi," kata
Sukarno memperkirakan.Berarti dua pendaki Tim Ekspedisi Puncak Tujuh
Benua Mapala UI itu, yang bisa dibilang pendaki terbaik Indonesia saat
ini, sampai hari ini sudah 30 hari berada di kawasan Puncak Aconcagua.
Norman dan Didiek berangkat melakukan pendakian ulang tanggal 11 Maret
1992 bulan lalu. Tanggal 24 Maret Didiek Samsu ditemukan sudah meninggal
di ketinggian 6.400 meter. Kemudian tanggal 2 April Norman Edwin
ditemukan oleh rombongan pendaki asing lainnya sudah meninggal di lereng
es dengan kemiringan 40 derajat di ketinggian 6.700 meter.Badan
Pengurus Mapala UI dan anggota Mapala UI lainnya, hari Sabtu (11/4),
pukul 19.30, akan mengadakan doa tahlilan bagi kedua rekan mereka di
Masjid Arif Rachman Hakim Kampus UI Salemba. (tom/sur)
PLAKAT ITU AKHIRNYA TERPASANG JUGA
KOMPAS - Selasa, 26 Jan 1993
UDARA
di Cementario (pemakaman) Puente Del Inca, Mendoza, Argentina, pagi itu
terasa sejuk. Di tengah makam di kaki Gunung Aconcagua itu terlihat
sebuah batu karang yang tertutup bendera Merah Putih. Semen di sekitar
batu karang itu terlihat masih basah.Satu regu barisan kehormatan
militer Ejercito Compania de Casadores Alta Montana B (pasukan ranger
pegunungan tinggi) Puente del Inca, Argentina tampak mengelilingi batu
karang itu dalam formasi huruf V terbalik.Di depan formasi, berdiri
tegak inspektur upacara, Abdullatif Taman, Duta Besar RI untuk
Argentina. Dalam sambutannya ia mengatakan, "Misi pendakian Aconcagua
bagi generasi muda Indonesiaa telah selesai dengan berhasilnya tim
Mapala UI mencapai puncak. Dan kini kami melengkapinya dengan memasang
plakat peringatan meninggalnya saudara kami Norman Edwin dan Didiek
Samsu. Semoga jasa-jasa mereka diterima di sisiNya."Kemudian, Dubes RI
untuk Argentina beserta rekannya Dubes RI untuk Chile, Soekarno
Hardjosudarno, melangkah bersama ke arah batu karang tertutup bendera
Merah Putih. Begitu sungkup Dwiwarna itu terbuka, terpampang plakat baja
putih yang bertulisan:"In memoriam Didiek Samsu Wahyu Triachdi...Norman
Edwin...On Aconcagua Expedition...Mapala University of Indonesia,
March, 1992"
***
UPACARA khidmat pemasangan plakat baja itu memang
tidak sampai satu jam. Namun, untuk bisa memasangnya perlu waktu enam
belas hari. Enam belas hari? Ya, dua hari untuk persiapan upacara,
sedangkan sisanya adalah waktu pendakian Gunung Aconcagua. Syarat utama
agar plakat itu terpasang adalah bendera Merah Putih bisa berkibar di
Puncak Aconcagua.Syarat itu memang dibuat untuk memacu diri dalam
mendaki Aconcagua. Bagaimana mungkin plakat dapat terpasang sebelum
pengorbanan kedua saudara kami dapat tertebus? Pikiran serupa juga
terlontar dari rekan-rekan almarhum di Jakarta, saat kami berdiskusi
sebelum berangkat melakukan pendakian. Jadi, tugas kami sebenarnya
sederhana. Hanya melakukan pemasangan plakat peringatan di pemakaman
Puenta del Inca. Namun syaratnya yang berat, mencapai puncak Aconcagua
terlebih dahulu.Kami beruntung sebelumnya telah ikut mengevaluasi
kejadian musibah yang menimpa kedua rekan kami. Paling tidak sebab-sebab
utama terjadinya musibah telah diketahui, dan bisa dihindari. Mengenai
cuaca buruk umpamanya, kami berupaya menghindarinya dengan berangkat di
awal musim pendakian pada tanggal 24 Desember 1992.Tetapi, tetap saja
alam Aconcagua tidak bisa diduga. Tanggal 6 Januari 1993 terjadi badai.
Padahal malam sebelumnya laporan cuaca dari radio Chile melaporkan cuaca
cerah selama empat hari. Kami yang saat itu berada di Plaza Canada
(4.900 m) dalam upaya aklimatisasi (penyesuaian tubuh pada ketinggian)
terpaksa turun kembali. Angin dengan kencangnya menggoyang tenda. Tenda
yang berbentuk kubah itu sampai hampir rata dengan tanah ditekan oleh
angin. Kami tentu tak mau seharian memegangi tenda.
***
DI kemah
induk Plaza de Mulas pun kondisinya sama. Sepanjang hari cuaca buruk
menghantui. Hari itu, di tengah musim panas, salju turun dengan
derasnya. Orang-orang Argentina sendiri heran dengan kejadian ini. Salju
putih setebal lebih dari dua puluh centimeter mengalasi kemah induk.
Paling kasihan adalah bagal-bagal pengangkut beban. Dalam hawa dingin
yang menggigilkan itu mereka masih mendaki ke kemah induk.Hal lain yang
mencemaskan di Aconcagua adalah soal aklimatisasi. Tiap pendaki yang
pernah mencapai puncaknya selalu mengingatkan. "Rute normal di gunung
Aconcagua itu sangat jelas. Itulah sebabnya banyak pendaki yang terlalu
cepat mendaki dan melupakan aklimatisasi. Kesabaran sangat berperan di
sini," kata Robert Eckhart, rekan pendaki Belanda yang kami temui di
Amsterdam.Nasehat itu kami ingat. Sejak di Puente del Inca di ketinggian
2.700 meter, aklimatisasi kami lakukan dengan rajin. Kami mendaki
beberapa puncak kecil setinggi 4.000 meter lebih untuk pemanasan.
Bertahap kemudian kami bermalam di ketinggian 3.300 meter di Confluensia
sebelum menginjak kemah induk Plaza de Mulas di 4.700 meter.Setiba di
Plaza de Mulas upaya aklimatisasi ini makin jadi perhatian. Maklum
selama tiga hari di sana, tiap hari selalu saja ada orang sakit turun
karena badannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan ketinggian.
Keluhannya mulai yang hanya sakit kepala ringan, hingga yang dipapah
karena menderita radang paru-paru.Pada hari kedua hati lebih ciut lagi.
Terdengar kabar bahwa ada satu orang Yunani tewas di Refugio Berlin
(5.800 m) dan tiga orang lainnya tidak sadar. Korban ditemukan dalam
keadaan "mati putih" (meninggal dalam keadaan tidur kekurangan
oksigen).Hari ketiga kami mulai naik ke Plaza Canada di ketinggian 4.800
meter dan tidak merasakan perubahan yang berarti. Bahkan untuk
meyakinkan diri kami melakukan joging di Plaza de Mulas. Detak jantung
pun normal.Hari ke tujuh kami sudah berada di Nido de Conderes pada
ketinggian 5.300 meter. Pada saat itu badan sama sekali tidak merasakan
perubahan yang berarti. Karena tidak merasakan perubahan yang berarti
kamai terlalu terburu-buru memutuskan untuk mencapai puncak. Semangat
untuk menebus pengorbanan Norman dan Didiek terlampau besar. Esok dari
Nido de Condores (5.800 m) kami akan melakukan summit attack ke
ketinggian 6.959 m.
***
MATAHARI belum keluar, pukul 7.00 kami
sudah jalan. Angin Pasifik dan dinginnya udara menembus jari-jari tangan
yang terbungkus sarung tangan wol. Ujung-ujung jari mulai mati rasa.
"Ayo jalan terus!" kami berdua saling mengingatkan bila ada yang
berhenti untuk menghindarkan dingin.Dengan bergerak terus tubuh jadi
hangat, dan matahari mulai menampakkan sinarnya dari balik gunung juga
bisa menghangatkan. Jalan ke arah Refugio Independencia (6.400 m) pun
mulai tampak.Saat itu terasa kecepatan kami sudah mulai jauh berkurang.
Sehingga target tengah hari dapat mencapai Refugio Independencia tidak
terpenuhi. Pada pukul 13.30 baru kami mencapai Independencia. Tempat di
mana jenazah almarhum Didiek Samsu ditemukan berangin sangat kencang.
Kami sempat bertanya dalam hati, mengapa ia memilih tempat berlindung
yang berangin seperti ini. Pertanyaan itu tak sempat terjawab karena
kami harus memburu waktu untuk ke puncak.Namun serentak dengan itu
serangan tipisnya udara sudah mulai tampak. Dalam melangkah terkadang
untuk bisa selangkah ke depan harus disertai satu tarikan napas dalam.
Kesadaran sudah mulai berkurang. Keseimbangan pun terganggu.Saat
melewati jalur salju ke arah sebuah punggungan bukit, hilangnya
keseimbangan ini benar-benar terbukti. Jalur yang tak begitu curam itu
serasa begitu terjal bagi kami. Kami melangkah dengan begitu hati-hati
sekali. Akibatnya hampir satu jam waktu terbuang percuma di jalur
itu.Keadaan makin parah menjelang traverse (menyeberang) ke Canaleta,
bagian terakhir menjelang puncak. Kami berjalan di tempat datar, namun
serasa gamang sekali. Hingga terpaksa kami memakai crampoon (cakar es)
untuk meyakinkan diri agar tidak terjatuh. Keputusan memakai Crampoon
ini membuang waktu hampir setengah jam. Dalam keadaan biasa, crampoon
bisa terpasang tak sampai lima menit. Namun kali ini dengan kesadaran
makin berkurang, setengah mati rasanya memasang crampoon.Akhirnya pukul
lima sore kami tiba di kaki Canaleta. Dengan pandangan tak pasti kami
tatap ke atas. Medan dengan kemiringan lebih dari tempat puluh lima
derajat, dipenuhi oleh longsoran salju dan batu setinggi tiga ratus
meter terhampar di depan mata.Rasanya dengan kondisi tubuh melemah
setelah beraktifitas lebih dari sepuluh jam di ketinggian lebih dari
6.000 m, melewati Canaleta adalah hal yang sangat riskan. Kami sepakat
untuk turun, walaupun waktu musim panas di Aconcagua menyisakan terang
hingga pukul sembilan malam.Pelajaran hari itu sangat mahal. Kami
rupanya harus bersabar dengan menambah ketinggian di Refugio Berlin. Dan
kondisi badan pada ketinggian rasanya makin hari makin baik. Pada hari
summit attack ke dua kami benar-benar lebih siap.Kami berangkat lebih
pagi. Tak sampai empat jam kami sudah di Independencia. Ada dua orang
Chile yang mendaki terlebih dahulu berhasil kami susul. Selebihnya kami
berkutat di Canaleta selama empat jam. Akhirnya pukul 14.20 Ripto
Mulyono berhasil mengibarkan Merah Putih pertama kali di Aconcagua.
Syarat pemasangan plakat peringatan Norman Edwin dan Didiek Samsu
terpenuhi sudah.(Ripto Mulyono/Tantyo Bangun, keduanya anggota Tim
Mapala UI yang berhasil mencapai Puncak Aconcagua)
Menolong korban Aconcagua - Mengapa tidak menggunakan helikopter ?
Mon,
18 Apr 2005 18:28:09 -0700 Didiek Samsu dan Norman Edwin, pendaki
gunung Indonesia, mendapat musibah dan meninggal di Puncak Aconcagua.
Sulit dan lama proses membawanya turun. Mengapa harus menggunakan kereta
salju atau seekor bagal ? Mengapa tidak diangkat saja dengan helikopter
? Dua pendaki Indonesia itu ditemukan meninggal di puncak Gunung
Aconcagua, Argentina, Amerika Selatan, pada ketinggian dan waktu yang
berbeda. Didiek Samsu ditemukan 23 Maret pada ketinggian 6.400 m dan
Norman Edwin ditemukan 2 April di ketinggian 6.600 m. Beda 200 m di
ketinggian hampir 22.000 kaki. Pada ketingian 22.000 kaki itu, tebing
dan lereng Aconcagua yang terjal sudah banyak diselimuti salju. Tebal
salju mencapai 50-60 cm. Di tempat itulah dua pendaki Mapala UI yang
sebelumnya dinyatakan hilang, ditemukan tewas oleh tim SAR Argentina,
Patrulla Socorro.Mencari hilangnya kedua pendaki Indonesia itu
sebelumnya menjadi pokok persoalan. Patrulla Socorro berhasil menemukan
korban, meskipun harus agak lama. Memang bukan mudah mencari di antara
tebing dan jurang bersalju itu. Dan setelah itu persoalan baru timbul.
Bagaimana membawa kedua jenazah itu turun? Semula, banyak orang mengira
bahwa untuk membawa turun jasad Didiek dan Norman, bukan soal lagi.
Apalagi di zaman modern saat ini.Terbangkan helikopter ke sana, mendarat
atau hovering di tempat kejadian, masukkan korban ke kabin dan terbang
lagi ke bawah. Selesai. Itu perkiraan.Tetapi kenyataannya tidak semudah
itu. Karena ternyata helikopter memiliki kemampuan terbatas dan tidak
mampu terbang kepuncak Gunung Aconcagua. Ada dua sebab utamanya,
kemampuan helikopternya dan kemampuan awak pesawatnya. Mengapa sulit
?Keadaan udara pada ketinggian 6.600 m atau hampir 22.000 kaki dihitung
dari permukaan laut, entah itu di puncak gunung atau di
awang-awang,bukanlah keadaan yang menguntungkan bagi manusia maupun
helikopter. Manusia, siapa saja, akan terpengaruh. Pada ketinggian
22.000 kaki itu keadaan tekanan udara sudah menjadi kurang dari separo
tekanan di permukaan laut, menjadi 335 mmHg. Kadar oksigennya sudah
sangat tipis, persentasenya sangat kecil dibandingkan kadar oksigen di
darat. Suhunya ? Sudah sangat dingin, 24,6 derajat Celcius di bawah nol,
atau minus (-) 24,6 derajat. Tekanan parsiel gas oksigen tinggal 80
mmHg atau setengah tekanan oksigen di darat. Tekanan di permukaan laut
760 mmHg dan tekanan parsiel O2-nya 160 mmHg dengan berat udara 14,7 pon
per square inch (PSI). Pada keadaan itu, orang tidak akan tahan tanpa
bantuan alat, seperti selimut/baju tebal atau masker oksigen untuk
membantu pernafasan. Dan situasi udara setengah atmosfir ketinggian
18.000 – 20.000 kaki itu dijadikan standar untuk menguji penerbang
maupun calon penerbang, karena situasi udara di tempat itu sama dengan
setengah atmosfir. Tekanan parsiel gas oksigen tinggal 80 mmHg atau
setengahnya tekanan oksigen didarat. Dalam ujian kemampuan calon
penerbang di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra)
‘dr. Saryanto’, para calon dimasukkan ke dalam altitude chamber.
Mereka duduk berderet dan diberi persoalan. Soal hitungan itu bentuknya
sangat sederhana dan sangat mudah seperti 2+2, 3+2, 4+3 dan sejenisnya.
Setelah mereka siap, kemudian ruang dibuat sama dengan kondisi pada
ketingian 18.000 kaki.Semua calon mulai mengerjakan soal yang ada di
tangannya. Tidak lebih dari 20 menit. Apa yang terjadi? Pengaruh
ketinggian mulai nampak. Sebagian besar mereka tidak mampu mengerjakan
dengan benar soal hitungan kelas 1 SD permulaan itu. Malah ada yang
linglung, dipanggil diam saja. Mereka sudah tidak mampu menguasai diri.
Itulah tanda-tanda ia terkena hipoksia, kekurangan gas oksigen.
Secepatnya petugas ruang (yang selalu mengenakan masker oksigen),
membantu calon tersebut menggunakan masker oksigen yang tersedia
didepannya, sebelum calon penerbang itu jatuh pingsan. Keadaan seperti
itu pun terjadi di puncak gunung, seperti Aconcagua yang tingginya lebih
18.000 kaki. Karena itulah maka pendaki gunung pun harus melakukan uji
kemampuan dalam altitude chamber seperti para calon penerbang. Sama
halnya dengan orang terbang di awang-awang terbuka, maka menuju
ketinggian dengan cara mendaki gunung, akan terkena pengaruh ketinggian.
Bedanya, bila dengan pesawat terbang, reaksi pengaruh berlangsung cepat
karena pencapaian ketinggian dapat dilakukan dengan cepat. Bagi pendaki
gunung, untuk mencapai ketinggian seperti Aconcagua itu ditempuh dalam
beberapa hari, sehingga selama perjalanan, penyesuaian dengan keadaan
lingkungan berlangsung. Namun, apa pun cara mencapai ketinggian itu,
daerah di ketinggian di atas 18.000 kaki bukanlah tempat hidup manusia.
Karena di sana atmosfir memiliki keadaan yang tidak lengkap, kurang dari
separo keadaan di darat tempat habitat manusia. Rendahnya tekanan
parsiel gas oksigen menyebabkan tekanan parsiel dalam paru-paru juga
menjadi rendah, akibatnya orang akan kekurangan oksigen, hypoxia.
Seseorang yang berada pada situasi yang tekanan parsiel gas O2-nya turun
25 persen saja, akan terkena pengaruh menurunnya kecerdasaan berfikir.
Karena itulah, maka suatu penerjunan bebas yang tanpa menggunakan masker
oksigen, hanya boleh dilakukan dari ketinggian terbang maksimum 10.000
kaki, batas toleransi manusia pada ketinggian.Cepat lambatnya seseorang
terpengaruh hipoksia, tergantung pada kondisi tubuh, umur, latihan,
aktifitas tubuh, kepekaan seseorang serta pengalaman terhadap pengaruh
hipoksia (lihat tabel).Semakin tinggi, orang lebih cepat terkena
pengaruh hipoksia. Pada ketinggian 50.00 kaki atau 15.240 m dengan suhu
(-) 56,5 derajat Celcius dan tekanan parsiel oksigen yang tinggal 20
mmHg, maka orang hanya bisa bertahan tidak lebih 10 detik saja. Mengapa
heli tidak bisa ? Suatu proses pertolongan korban kecelakaan pesawat
terbang di gunung yang tingginya 5.000 kaki, terkadang mengalami
kesulitan. Bukan helikopternya yang tidak mampu, tetapi justru keadaan
cuaca yang seringkali tidak mendukung. Helikopter terbang pada
ketinggian 5.000 kaki masih bisa dilakukan. Tetapi terbang pada 22.000
kaki seperti di Gunung Aconcagua, adalah persoalan. Helikopter bisa
terbang karena timbulnya gaya angkat pada baling-baling rotor yang
berputar. Karena itulah maka helikopter disebut juga rotary wing. Dan
untuk mampu mengangkat helikopter beserta isi kabinnya, diperlukan
tenaga gaya angkat yang besar. Di daerah rendah, gaya angkat mudah
terjadi, karena udara yang padat. Dengan gaya angkat yang besar itu,
maka helikopter mampu malakukan hovering, melayang di tempat, untuk
melakukan pertolongan beberapa menit. Untuk hovering diperlukan gaya
angkat yang lebih besar dari pada gaya yang diperlukan untuk terbang
biasa. Di ketinggian 22.000 kaki, helikopter tidak akan mendapatkan gaya
angkat yang diperlukan, karena renggangnya udara. Apalagi untuk
hovering yang mesti dilakukan sebuah helikopter di saat akan take-off,
waktu mendarat atau sedang menolong korban di daerah yang sulit. Karena
tidak selalu bisa mendarat, maka digunakan cara hoist, menurunkan dan
menaikkan penolong serta korban melalui kabel baja penarik yang dipasang
di sisi kiri/kanan helikopter. Dengan cara ini mengharuskan helikopter
melakukan hovering. Masalah lain adalah awak pesawat dan tim
penolongnya. Mereka tidak akan mampu berlama-lama di ketinggian 22.000
kaki tanpa bantuan oksigen. Mereka juga harus menjaga diri agar tidak
hipoksia. Sulit memang. Itulah sebab mengapa helikopter tidak digunakan
dalam pertolongan di Gunung Aconcagua. Tingginya tempat, kencangnya
angin di puncak, sampai 240 km/jam dan badai salju, membahayakan siapa
saja yang ada di sana termasuk helikopter. Karena itu, mereka memilih
menggunakan kereta salju dan bagal. (soe)
Norman Edwin 1955 - 1992
Norman
Edwin sosok pecinta olahraga petualang yg pernah ada di Indonesia, di
kenal sebagai pribadi yg pemberani dan suka menolong oleh keluarga dan
teman2nya sesama jurnalist Kompas, tempat terakhirnya bekerja. Norman
tewas di usia 37 tahun bersama rekan satu teamnya Didiek Samsu Wahyu
Triachdi saat pendakian Puncak Aconcagua (6969m), pegunungan yang
membentang sepanjang perbatasan Chile - Argentina, saat itu ia tergabung
dalam Seven Summit Expedition 1992 - Mapala UI. Didiek juga tercatat
sebagai wartawan di Majalah Jakarta Jakarta.
Indonesia berduka,
musibah menimpa Expedisi Seven Summit pada pertengahan April 1992
merenggut dua orang pendaki terbaiknya, Norman Edwin dan Didiek Samsu
Wahyu Triachdi. Media nasional dan international banyak meliput kejadian
tewasnya dua pendaki ini. Norman saat itu memimpin Team Pecinta Alam
Universitas Indonesia yang tergabung di Mapala UI dalam upayanya mendaki
Puncak Aconcagua 6959-mtr Chile. Gunung yg disebut juga 'The Devil's
Mountain' karena faktor cuacanya tak bisa diprediksikan, sering kali
badai salju melanda pegunungan selama berhari hari. Puncaknya dijadikan
tujuan karena menjadi salah satu Puncak Tertinggi dalam Expedisi Tujuh
Puncak Dunia Mapala UI.
Berbekal pengetahuan dalam Penelusuran gua,
Pendakian Gunung, Pelayaran, Arung Jeram serta sejumlah pengalaman
Rescue di Irian Jaya, Kalimantan, Africa, Canada bahkan Himalaya,
membentuk kecepatan dan kekuatan phisik pada dirinya yang telah
bergabung di Mapala UI sejak tahun 1977. Sampai akhirnya terpilih
menjadi Leader dalam Expedisi ini bersama Didiek, Rudy "Becak" Nurcahyo,
Mohamad Fayez and Dian Hapsari, satu2nya wanita dalam team tersebut.
Sebetulnya
banyak meragukan kemampuan Norman, jauh hari sebelum Expedisi ini di
mulai, namun pengalamannya selama 15 tahun dalam berpetualang serta
menghadapi berbagai bahaya, diyakini membuatnya tetap berangkat. Saat
expedisi berlangsung, badai salju menghantam Team ini dan akhirnya
merenggut duet pendaki ini. Jenazah Didiek adalah yang pertama ditemukan
pada tanggal 23 Maret atas laporan beberapa pendaki negara lain yang
kebetulan melihat mereka berdua terakhir di ketinggian 6400m, beberapa
ratus meter lagi sebelum Puncak.
Dilaporkan pula saat itu, kondisi
keduanya terlihat sangat kritis, beberapa jari Norman terkena Frosbite
(Mati Beku karna Dingin) dan Didiek menderita Snow Blindness (Buta
Salju) akibat pancaran sinar matahari yang berlebihan, memantul di
hamparan salju dataran tinggi. Kemungkinan hal ini sangat mendekati
karena Google (Kacamata Salju) yang dipakai Didiek rusak berat. Jenazah
Norman ditemukan beberapa hari kemudian dan langsung diterbangkan ke
Jakarta pada tanggal 21 April 1992. Spekulasi merebak melalui media
massa bahwa kegagalan mereka juga diakibatkan karena minimnya
pelaralatan yang dibawa. Aconcagua terpilih setelah Mapala UI
merencanakan Expedisi Tujuh Puncak Dunia lainnya yaitu Cartenz Pyramid
(4,884 meters) di Irian Jaya; McKinley (6,194 meters) di Alaska, Amerika
Serikat; Kilimanjaro (5,894 meters) in Tanzania, Afrika; dan Elbrus
(5,633 meters) di Uni Soviet, (sekarang Rusia). Setahun kemudian setelah
tragedi ini, Mapala UI yang status keanggotaannya berlaku seumur hidup
ini, mencoba mengirim kembali dua anggota lainnya yaitu Tantyo Bangun
dan Ripto Mulyono untuk menyelesaikan pendakian sekelas Expedisi
Aconcagua ke Vinson Massif (4,887 meters) di Kutub Selatan. Dan satu
lagi Puncak Everest di Himalaya dengan nama Team Expedisi Universitas
Indonesia, namun sayang kegagalan juga menimpa team ini.
Dua
kegagalan rupanya tidak menyurutkan semangat Mapala UI, karna puncak
terakhirnya tetap dijadikan target bagi Expedisi Gabungan selanjutnya
yang terdiri dari Mapala UI, Koppassus dan Wanadri. 'Kami berusaha
melakukan pendakian gabungan ke Everest tahun 1997 dan sukses, dua
anggota team dari prajurit Koppassus yaitu Asmujiono dan Misirin
berhasil mencapai Puncak Everest.' ujar Rudy "Becak" Nurcahyo anggota
Indonesian National Team to Everest yang juga kehilangan jarinya karna
Frosbite di Expedisi Aconcagua.
'Kami mencoba yang tebaik untuk
mewujudkan itu semua.. dan saya percaya Norman dan Didiek pun akan
tersenyum disana melihat keberhasilan Team Everest ini. walaupaun
setelah tahun 1997, Indonesia dilanda krisis ekonomi kemudian masa
reformasi yang tak lama berselang. Keadaan ini otomatis ini menghambat
Expedisi-expedisi selanjutnya yang telah direncanakan.. tambahnya.
Bagi
istri Norman, Karina serta Melati putrinya, sosok hangat dan eksentrik
Norman akan tetap menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Semasa hidup,
Melati selalu diajak serta dalam kegiatan alam bebas yang digeluti
ayahnya itu, termasuk perjalanan ke Irian Jaya saat ia masih kecil.
'Norman menjadi seorang petualang sejati dan sedikit bandingannya
diantara pendaki-pendaki yang ada sekitar tahun 1970-80, dan Didiek
adalah teman dekatnya. Ia tunjukkan rasa hormatnya kepada wanita dan
yakin bahwa wanita dapat mengerjakan sesuatu yang lebih baik daripada
pria, apalagi menyangkut faktor keselamatan, contohnya Penulusan Gua'
papar Karina yang dulu juga aktif dalam kegiatan alam bebas sekembalinya
dari Australia dan mengambil kuliah lagi jurusan Arkeologi di
Universitas Indonesia.
'Norman pernah mengatakan, aktivis alam wanita
cenderung lebih tenang, tidak mudah panik dan dapat mengatasi situasi
darurat jika dibandingkan dengan pria. Bagi saya ia sangat humoris dan
mempunyai semangat hidup yang tinggi. Begitu pula yg rasakan Melati,
sifat ayahnya ini menurun kepadanya walaupun ia masih berusia remaja.
Janganlah kita mencoba menaklukkan ganasnya alam, tapi belajarlah untuk
menaklukkan ego serta mengetahui batasan diri kita sendiri, faktor ini
adalah yang terpenting jika ingin menekuni olahraga beresiko tinggi'
ungkap Karina yang dulu juga ikut dalam team di Expedisi Cartenz Irian
Jaya tahun 1981 dan saat ini telah menyelesaikan program Doctoralnya di
Australian National University.
Norman dan Didiek telah tiada, namun
spiritnya kuat meresap di hati para pecinta olahraga alam bebas
Indonesia. Penghargaan patut mereka terima atas keberanian dan semangat
pantang menyerah, sehingga dapat dijadikan contoh bagi petualang2 muda
lainnya yang masih ada.
So long my friend.. we'll see you up there..
from : TheJakartaPost/(Edith Hartanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar